|
Palestina rayakan kemenangan di PBB/ Reuters |
Israel sangat terkejut atas hasil sidang Majelis Umum PBB di New York,
29 November 2012. Negeri Zionis itu tidak menyangka musuh bebuyutan
mereka, Palestina, naik pangkat dari “entitas pengamat” menjadi “negara
pengamat non-anggota” di PBB.
Israel pasti lebih sesak setelah tahu bahwa “kemenangan”
Palestina itu ternyata ada andil "pembelotan" sekutu mereka di Eropa.
Perubahan sikap sejumlan negara di benua biru itu memang memberikan
suara yang sangat menguntungkan Palestina.
Pada posting sebelumnya,
telah diuraikan sejumlah negara Eropa yang berubah sikap. Ada lima
negara Eropa yang pada 2011 menyatakan abstain, ganti mendukung
Palestina. Kelima negara itu adalah Italia, Denmark, Swiss, Portugal,
dan Georgia.
Tiga negara Eropa pada 2011 menyatakan tidak mendukung,
tahun ini berubah abstain. Sikap ini juga "menguntungkan" Palestina.
Tiga negara itu adalah Jerman, Belanda, dan Lithuania.
Satu negara yang berubah drastis adalah Swedia. Pada
2011, negara ini menolak lobi peningkatan status Palestina. Namun, pada
2012 berbalik 180 derajat memberikan dukungan. Sedangkan, negara yang
tidak berubah sikap adalah Ukraina dan Republik Ceko. Ukraina tetap
abstain, sementara Ceko tetap menolak.
|
Peta negara Eropa pendukung Palestina |
Mengapa berubah
Yang paling mengejutkan mungkin perubahan sikap Jerman. Foreignpolicy.com
menulis Jerman hanya butuh sebelas jam untuk berubah dari menolak ke
abstain. Diduga, Jerman berubah sikap karena tak senang dengan Israel
yang tetap ngotot membangun pemukiman Yahudi di Tepi Barat.
Dibilang mengejutkan karena selama ini Jerman dikenal
sekutu terdekat Israel di Eropa. Dalam berbagai kesempatan Kanselir
Jerman, Angela Merkel, menyatakan negaranya akan selalu mendukung
Israel. Sebelum berbicara di hadapan Knesset pada 2008, Merkel berujar
mendukung penyelesaian konflik Israel-Palestina hanya dibahas oleh dua
negara. Tanpa melibatkan pihakluar.
Merkel juga memastikan dirinya dan kanselir-kanselir
Jerman sebelumnya secara historis memanggul tanggung jawab menciptakan
keamanan bagi Israel. Jerman memang mengabdi pada keamanan Israel. Ini
merupakan “penebusan dosa” atas peristiwa Holocaus.
Namun, hubungan Jerman-Israel tak selalu semanis ucapan
Merkel itu. Hubungan kedua negara juga mengalami pasang surut. Pada
2009, setahun setelah Merkel mengumbar komitmennya, penasihat keamanan
nasional Jerman, Christoph Heusgen, malah meminta AS untuk tidak
menentang Laporan Goldstone di PBB. Padahal laporan itu berisi dugaan
kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel selama Operasi Cast Lead di
Gaza.
Saat melobi AS itu, Jerman ingin masalah
Palestina-Israel dibawa ke meja perundingan. Jerman ingin Israel
menghentikan pencaplokan tanah Palestina dengan mendirikan pemukiman
Yahudi. Jerman menekan Israel dengan ancaman akan membawa Laporan
Goldstone itu ke DK PBB.
Hubungan keduanya semakin memanas pada 2010. Saat itu,
Merkel bertelepon dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Mereka membahas isu pemukiman. Hubungan Jerman-Israel makin
compang-camping setelah Jerman meningkatkan status perwakilan Otoritas
Palestina di Berlin dengan penempatan Duta Besar.
Selain itu, sikap abstain Jerman pada sidang PBB ini
juga dipengaruhi politik domestik. Sebelumnya, partai koalisi Merkel,
Partai Sosial Demokratik (SPD) menjamu perwakilan Fatah, partai yang
berkuasa di Palestina. Pada jamuan di Berlin itu, kedua partai
mendeklarasikan "kerja sama strategis". Inilah yang ditiru Merkel di
tingkat internasional.
Negara Eropa lain yang turut andil pada "kemenangan"
Palestina adalah Prancis. Tak seperti Jerman yang punya hubungan
panas-dingin dengan Israel. Sikap Prancis lebih jelas.
Hubungan Prancis Israel memanas pada 2010. Saat itu,
Duta Besar Prancis untuk Inggris, Daniel Bernard, menyebut Israel
sebagai "negara kecil yang menyebalkan". Pada 2011, Presiden Prancis
saat itu, Nicolas Sarkozy, dalam pertemuan G-20, menyatakan secara
terag-terangan kepada AS bahwa dirinya tidak mendukung Netanyahu.
Selama kepemimpina Sarkozy pula, Prancis gencar
mendukung Palestina menjadi anggota Unesco yang berbasis di Paris.
Unesco kemudian memberikan status “negara anggota” untuk Palestina, AS
bereaksi negatif. Negeri Paman Sam tak mencairkan bantuan US$80 juta ke
Unesco. AS menyayangkan langkah Unesco dan menyebutnya sebagai langkah
prematur.
Pengganti Sarkozy, Francois Hollande, juga sama. Holande
menentang pendudukan oleh Israel. Bagi Hollande, masalah pemukiman
Israel menjadi isu yang serius. Pembangunan pemukiman itu dianggap
sebagai penghalang perdamaian Israel-Palestina.
Saat bertemu dengan Netanyahudi Paris pada Oktober,
Hollande meminta Israel menghentikan pembanguna pemukiman di Palestina.
Karena saran tak dianggap, seminggu sebelum sidang PBB akhir November,
Prancis secara blak-blakan menyatakan dukungan pada Mahmoud Abbas dan
Otoritas Palestina.
Dengan dukungan Prancis terhadap peningkatan status
Palestina di PBB dan Jerman yang memilih ke luar dari "pertempuran",
maka negara-negara Eropa lainnya juga lebih memilih mendukung Palestina.
Pengaruh Prancis menancap di Spanyol. Bocoran dari
kalangan diplomat negeri Matador menyebut kelesuan ekonomi negaranya
berhasil dimanfaatkan Prancis. Prancis menggeret Spanyol ke barisan
pendukung Palestina dengan jaminan proteksi terhadap kekacauan ekonomi.
Namun, tidak hanya itu alasan Spanyol mendukung Mahmoud
Abbas. Spanyol yang tengah mengidam-idamkan kursi di Dewan Keamanan PBB
ingin merebut hati Liga Arab. Dengan dukungan ini Spanyol berharap dapat
limpahan suara dari Liga Arab, sehingga bisa duduk di kursi DK PBB.
Lain lagi dengan Italia. Israel menikmati dukungan
Italia di bawah kepemimpinan Silvio Berlusconi. Namun, setelah
Berlusconi lengser dan diganti Mario Monti, negeri pizza itu memilih
mendukung Palestina daripada memanjakan Israel.
Selain itu semua, perubahan sikap Eropa kemungkinan
karena penentangan mereka terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Israel
maupun kelompok Hamas. Terlebih, pemungutan suara di PBB itu dilakukan
setelah Israel-Hamas terlibat pertempuran. Eropa ingin menunjukkan bahwa
perjuangan nonkekerasan Mahmoud Abbas lebih disukai daripada aksi
saling serang. Eropa lebih suka strategi hukum dan birokrasi untuk
perdamian daripada kebrutalan semata.
Yang jelas, kemenangan ini menunjukkan langkah Israel
kalah jauh dari Otoritas Palestina. Mahmoud Abbas berkunjung dari negara
satu ke negara lainnya. Dari Amerika Latin hingga Eropa. Di sinilah
Israel "kalah total". Netanyahu tidak menawarkan apapun kepada pemimpin
di Eropa untuk menjegal langkah Abbas. Sementara, Abbas terus
“mengepung”, Israel tidak berhasil memelihara sekutunya di Eropa.
Faktor itu masih ditunjang dengan populasi Muslim di
Eropa yang tengah meningkat. Sentimen pro-Palestina pun mulai bergairah.
Dari perspektif Uni Eropa, kengototan Israel membangun pemukiman di
Palestina dan kebrutalan Hamas menyebabkan dukungan terhadap diplomasi
Mahmoud Abbas tidak bisa dihindari.
Sementara Mahmoud Abbas berjalan ke berbagai penjuru,
saat itu pula Netanyahu hanya sibuk berkutat dengan sekutu sejatinya, AS
dan tujuh negara lainnya. Peningkatan status Palestina, itulah harga
yang harus dibayar. Ini tentu sangat berbahaya bagi Israel, sebab musuh
bebuyutan itu menapak semakin cepat menuju negara berdaulat. Ini mungkin
jadi kegagalan termahal Israel atas Palestina.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Yang Anda Berikan !
Semoga Artikel Ini Bermanfaat U/ Anda ;)
Come Back ^_^